atensi Artikel

Diskusi ATENSI dan UNDP: Pentingnya Aspek Etika dan Legal dalam Mengoptimalkan Pelayanan Telemedisin bagi Masyarakat

Liputan
atensi dilihat 877

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined variable: rentang_waktu

Filename: landing/detail_all_view.php

Line Number: 61

Backtrace:

File: /home/cpanel/atensi/public_html/application/views/landing/detail_all_view.php
Line: 61
Function: _error_handler

File: /home/cpanel/atensi/public_html/application/controllers/Detail.php
Line: 88
Function: view

File: /home/cpanel/atensi/public_html/index.php
Line: 315
Function: require_once

Share
atensi atensi atensi
atensi

Jakarta, 12 Februari 2022 - Kementerian Kesehatan RI telah meluncurkan strategi transformasi digital di bidang kesehatan yang fokus pada integrasi data layanan kesehatan untuk pelayanan yang lebih efisien, dengan peran platform telehealth menjadi salah satu pilar dalam transformasi ini. Di satu sisi, telehealth sebagai salah satu instrumen penting dalam memberikan kemudahan akses kesehatan bagi masyarakat.

ATENSI berkolaborasi dengan UNDP kembali menghadirkan serangkaian webinar bertajuk “Ethical & Legal Challenges of Telemedicine in Indonesia”. Acara ini dihadiri oleh J. Ansye Sopacua, Ph.D - Senior Advisor for Program Integration and Development Analysis UNDP, Prof. dr. Abdul Kadir, Ph.D. Sp.THT-KL(K) MARS - Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI, Prof. Dr. Purnawan Junadi, M. PH, PhD - Ketua Aliansi Telemedik Indonesia (ATENSI), Dr. M. Nasser, Sp.KK, D.Law, FINSDV, FAADV - Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia sekaligus Dewan Pakar PB IDI, Rico Mardiansyah - Kasubag Advokasi Hukum dan Humas Ditjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Abetnego Panca Putra Tarigan - Deputi II Kantor Staf Presiden RI, dr. Nico Azhari Hidayat, SpBTKV(K)VE - Dewan Pengawas ATENSI, serta Dr. Agnes, MPH - COO ProSehat.

 

Membuka acara diskusi, J. Ansye Sopacua, Ph.D selaku Senior Advisor for Program Integration and Development Analysis UNDP mengatakan bahwa saat ini keberadaan telemedisin semakin berkembang karena integrasi pelayanan online dan offline, tidak hanya konsultasi online, bahkan masyarakat juga bisa mendapatkan kemudahan akses untuk melakukan tes COVID-19 hingga vaksinasi Covid-10.. Beliau pun menyampaikan respon yang positif terhadap pemanfaatan telemedisin. “Kemenkes melalui surat edaran tentang pencegahan dan pengendalian COVID-19 juga menggandeng 17 platform telemedisin untuk memberikan layanan telekonsultasi secara gratis bagi pasien terkonfromasi positif Covid-19 OTG (orang tanpa gejala) dan dengan gejala ringan untuk melakukan isolasi mandiri. Kedepannya, tentu kita berharap telemedisin dapat memberikan akses kepada masyarakat yang lebih luas sesuai dengan cita-cita SDGs untuk mencapai universal health coverage and access to quality healthcare for all. UNDP tentunya siap mendukung dan memberikan rekomendasi agar layanan telemedisin bisa memenuhi aspek etika dan hukum demi pelayanan yang optimal.” 

 

Dalam implementasi pelaksanaan praktik telemedisin, peran Kemenkes sebagai regulator sangat dibutuhkan. Prof. dr. Abdul Kadir, Ph.D. Sp.THT-KL(K) MARS selaku Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI mengatakan, “Kami harus melakukan pengawasan agar pelayanan digital berjalan dengan baik berdasarkan aspek etika dan hukum. Keamanan data menjadi satu dari sekian risiko yang tidak bisa diabaikan dalam pelayanan digital. Sehingga, saya mohon kepada para platform agar keamanan dan kerahasiaan data pasien dijaga dengan baik. Kemenkes juga harus mempercepat regulasi demi keselamatan pasien.” Pihaknya juga mengapresiasi rekan-rekan di ATENSI yang telah bekerja sama dengan baik mendukung dan melaksanakan pelayanan telemedisin di masa pandemi.

 

Saat ini, di Indonesia sudah ada sejumlah regulasi yang mengatur pelaksanaan pelayanan kesehatan, diantaranya Permenkes 20/2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedisin Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan, KMK 48 29/2021 tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan melalui Telemedisin pada Masa Pandemi COVID-19, dan lain lain. Rico Mardiansyah Kasubag Advokasi Hukum dan Humas Ditjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI menuturkan, “Salah satu tantangan global yang muncul di era disrupsi seperti saat ini adalah pemanfaatan teknologi informasi yang memiliki implikasi hukum, etika, dan tata kelola. Sehingga, tidak hanya teknologi yang harus smart, regulasi juga harus bisa semakin smart menjawab perubahan yang cepat. Bagaimanapun, layanan telemedisin harus berpusat pada pasien dan tenaga kesehatan harus memiliki waktu untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar etika layanan”

 

Perlindungan hukum bagi platform telemedisin juga diamini oleh Dr. M. Nasser, Sp.KK, D.Law, FINSDV, FAADV selaku Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia sekaligus Dewan Pakar PB IDI, menyusul semakin pentingnya peran telemedisin untuk bisa memperluas akses pelayanan kesehatan hingga ke daerah. “Praktik telemedisin memiliki tantangan besar pada aspek legal. Dalam pasal 35 UU Praktik Kedokteran disebutkan salah satunya bahwa dokter memiliki kewenangan klinik untuk memberikan pemeriksaan fisik untuk penegakan diagnosis. Pada layanan online, penegakan diagnosis jelas memiliki keterbatasan. Apabila anamnesis dinilai tidak cukup, dokter harus merekomendasikan pemeriksaan fisik lebih lanjut. Fungsi layanan online adalah sebagai platform, sehingga  kecerobohan, kelalaian, dan kelengahan seharusnya bukan menjadi tanggung jawab penyedia layanan. Tanggung jawab ada pada dokter yang melakukan konsultasi.”

“Kendati demikian, dalam hukum medis, ada risiko medis yang tidak dapat dihitung dan diantisipasi dalam memberikan obat karena hal tersebut merupakan reaksi individual pasien. Sehingga, perlindungan hukum bagi dokter dan pasien semakin dibutuhkan. Saat ini, payung hukum  yang mengatur pelaksanaan telemedisin antara dokter dan pasien di luar konteks COVID-19 masih belum ada. Saran saya, butuh regulasi yang kuat secara nasional dengan gradasi yang lebih tinggi seperti Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengantisipasi potensi isu dalam pelaksanaan telemedisin,” imbuh Dr. M. Nasser.

Keberadaan payung hukum telemedisin tentu menjadi hal yang dinanti-nantikan, termasuk oleh ATENSI. Bahkan, Prof. Dr. Purnawan Junadi, M. PH, PhD selaku Ketua Aliansi Telemedik Indonesia (ATENSI) berharap teknologi telemedisin kedepannya bisa semakin dipercaya seperti teknologi di industri keuangan yang aman dan sangat mengedepankan kerahasiaan nasabahnya. “Inilah pentingnya regulasi yang ujung-ujungnya demi pelayanan kesehatan yang optimal. Di Amerika saat ini sudah ada etik telemedisin dimana ada kursus khusus bagi dokter yang memberikan pelayanan telemedisin. Di Indonesia, tidak bisa dipungkiri kalau keberadaan telemedisin menjadi besar karena pandemi”

Sejalan dengan Prof. Purnawan, dr. Nico Azhari Hidayat, SpBTKV(K)VE selaku Dewan Pengawas ATENSI juga mengatakan bahwa peran telemedisin kini semakin powerful dengan dampak yang sangat positif di masa pandemi. Telemedisin kini bukan lagi keniscayaan, kata Nico. “Telemedisin sudah menjadi praktik global dan akan sangat disayangkan kalau Indonesia tidak menerapkannya. Jangan sampai masyarakat kepulauan kita malah dilayani oleh platform dari luar. Strateginya saat ini adalah dengan terus mengembangkan regulatory sandbox untuk telemedisin yang sudah mulai menjawab beberapa isu, kemudian mengembangkan ekosistem yang menggabungkan keahlian pemerintah, media partner, industri teknologi, serta pihak lain agar semakin banyak manfaat yang bisa dirasakan masyarakat,” terang Nico.

 

Perluasan akses kesehatan bagi seluruh masyarakat juga menjadi fokus platform. Dr. Agnes, MPH selaku COO ProSehat mengatakan bahwa apabila dikembangkan dengan baik, telemedisin akan mampu menjangkau semua orang, apalagi kondisi saat ini keberadaan dokter masih tersebar di kota-kota besar.

Hadir pula dalam diskusi tersebut, Abetnego Panca Putra Tarigan, Deputi II Kantor Staf Presiden RI yang menyatakan telemedisin telah dilihat memiliki potensi yang besar dalam menjawab tantangan kesehatan oleh Presiden Joko Widodo. Namun di sisi lain, masih terdapat berbagai celah regulasi, diantaranya jaminan kerahasiaan data pasien, integrasi rekam medis elektronik, serta perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan. Dalam hal ini, pemerintah terus mempelajari potensi isu yang akan muncul. “Pemerintah telah memiliki strategi transformasi sistem kesehatan 2021-2024 dimana telemedisin menjadi salah satu pilar untuk mewujudkan transformasi ini. KSP siap mendukung Kemenkes dan lembaga lain agar prioritas nasional dapat terlaksana dengan baik dan kami sangat terbuka dengan masukan dari mitra pembangunan,” tutup Abetnego.